TUNTUNAN ISLAM TENTANG HEMAT AIR

            Islam terkait sekali dengan air, karena setiap orang Islam yang mau beribadah atau melaksanakan hubungan vertikal dengan Tuhannya, melalui shalat, dia berurusan dengan air terlebih dahulu untuk digunakan dalam berwudlu. Ketika ia mempelajari Islam, maka biasanya ia akan mengkaji Fikih. Bab pertama yang akan dipelajarinya lazimnya adalah masalah thaharah (bersuci) yang sangat terkait dengan air.

            Dalam kehidupan sehari-hari, manusia ternyata sangat membutuhkan air, baik untuk urusan domestik (rumah tangga, seperti minum, mandi dan cuci) dan irigasi ketika manusia masih di era agraris maupun untuk urusan industri ketika manusia memasuki era industri. Bila ada demand (kebutuhan), maka harus ada supply (penyediaan). Ketersediaan air berasal dari air permukaan (sungai dan danau), air dalam tanah dan mata air, yang dari tahun ke tahun cenderung berkurang akibat kerusakan lingkungan. Sementara itu, kebutuhan akan air dari waktu ke waktu semakin meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan industri. Bila dua kecenderungan yang bertolak belakang ini dibiarkan, akan muncul masalah berupa kesenjangan antara ketersediaan air dan kebutuhan akan air yang sekarang mulai dirasakan.

 

            Kajian dimulai dari bagaimana al-Quran, sebagai sumber ajaran Islam, memberikan apresiasi terhadap air. Untuk memperoleh pemecahan yang tepat, perlu juga dikaji bagaimana al-Quran menjelaskan tujuan (sekaligus fungsi) manusia diciptakan Tuhan, karena siapa tahu ada yang perlu direvisi dari pola hubungan antara manusia dan alam yang mewarnai era industri. Setelah itu, perlu diketahui juga—walau tidak secara  rinci—perilaku pemeluk Islam yang terkait dengan penggunaan air dan menjaga ketersediaan air. Adakah kesenjangan antara perilaku mereka dan informasi/ajaran al-Quran tentang air? Bila ada, faktor-faktor apa kira-kira penyebabnya? Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab, dapat dikembangkan kebijakan-kebijakan publik, sehingga efesiensi/hemat dalam penggunaan air tidak menjadi tanggung jawab individu semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab kolektif, termasuk pengambil kebijakan publik.

 

 

Apresiasi Islam terhadap Air

 

            Islam, melalui al-Quran, memberi penegasan bahwa air tidak semata merupakan kebutuhan manusia, untuk ibadah wudlu (Q.S. al-Mâidah [5]:6) dan diminum (Q.S. al-Baqarah [2]:60; al-Hijr [15]:22; al-Nahl [16]:10; dan al-Wâqi`ah [56]:68-69), namun juga kebutuhan tumbuhan dan hewan (Q.S. al-Baqarah [2]:22; al-Nahl [16]:10-11; Thaha [20]:53; al-Mu’minûn [23]:19; dan al-Naba’ [78]:14-16). Lebih dari itu, air ternyata menjadi salah satu unsur penciptaan makhluk hidup (Q.S. al-Anbiyâ’ [21]:30), termasuk hewan (Q.S. al-Nûr [24]:45) dan manusia (Q.S. al-Furqân [25]:54}. Ditegaskan juga bahwa tanah yang tandus dapat menjadi subur melalui air (Q.S. al-Baqarah [2]:164; al-Hajj [22]:5; dan al-Rûm [30]:24).

 

            Lebih lanjut al-Quran menjelaskan ketersediaan air di bumi ini melalui air permukaan (dengan banyak penggunaan kata air hujan pada ayat-ayat di atas), air dalam tanah dan mata air (Q.S. al-Zumar [39]:21; dan al-Qamar [54]:12). Melalui penafsiran terhadap Q.S. al-Mu’minûn [23]:18: “… dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya(air),” di mana kata ‘Kami’—demi menjaga keesaan-Nya—difahami ‘Allah dengan melibatkan partisipasi makhluk-Nya’, manusia dapat menjadi penyebab menipisnya ketersediaan air. Sementara itu, melalui penafsiran terhadap Q.S. al-Wâqi`ah [56]:70: “Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia (air yang diminum manusia) asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?” di mana kata ‘Kami’ difahami seperti pada Q.S. al-Mu’minûn [23]:18, manusia dapat menjadi penyebab menurunnya kualitas air. Akhirnya, melalui penggalan terakhir Q.S. al-Wâqi`ah [56]:70, tersirat dari kata ‘bersyukur’ tanggung jawab manusia untuk menjaga kualitas air (dan juga ketersediaannya).

 

            Mengapa manusia memiliki tanggung jawab demikian? Penjelasan berikut akan menjawab pertanyaan ini melalui penggambaran al-Quran tentang tujuan/fungsi penciptaan manusia.

 

            Manusia diciptakan Tuhan dengan tujuan mengemban dua tugas sekaligus yang saling melengkapi. Pertama-tama, manusia dipandang sebagai khalifah (Q.S. al-Baqarah [2]:30; dan Hûd [11]:61), tetapi pada saat yang sama manusia juga adalah hamba (Q.S. al-Dzâriyât [51]:56). Sebagai khalifah, manusia wajib aktif menjaga harmoni alam dan menyebarkan rahmat ke dalamnya, sebagai konsekuensi dari manusia menjadi pusat alam. Walau pusat, manusia tidak ditempatkan di atas alam  dan menganggapnya sebagai ‘musuh yang harus ditaklukkan’—sebuah pandangan  yang jelas berbeda dari pandangan yang berkembang di Barat. Konsekuensi dari tauhid, alam dan manusia merupakan kesatuan, berkedudukan setara. Tetapi sebagai hamba, manusia harus pasif, dalam pengertian tunduk kepada Tuhan, dan menerima rahmat yang mengalir padanya. Sama halnya dengan Tuhan yang menghidupkan dan merawat alam, manusia harus merawat alam sekelilingnya. Itulah wujud ketundukkannya kepada Tuhan. Ia tidak dapat mengabaikannya, kecuali dengan mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya.

 

            Tujuan penciptaan manusia dalam Islam, seperti sudah dijelaskan, membawa konsekuensi pada pola hubungan antara manusia dan alam yang setara di mana manusia menjaga harmoni alam. Pola ini jelas sangat berbeda dan karenanya dapat merevisi pola hubungan antara manusia dan alam yang selama ini dikembangkan masyarakat industri, yaitu absolutisme manusia—pandangan yang datang dari humanisme dan rasionalisme Barat abad ke-17. Dalam pola absolutisme ini, manusia menguasai alam, merusak hutan. Bila hutan sudah dirusak, bagaimana ketersediaan air akan terjaga?

 

 

 

Dunia Islam dan Kerusakan Lingkungan

 

            Meskipun secara ajaran jelas apresiasi Islam terhadap air (dan alam), adakah pada tingkat operasional dunia Islam lebih berhasil dalam menghadapi fenomena krisis air (dan lingkungan)? Ternyata dunia Islam dan kawasan lain non-Islam yang non-Barat mendapatkan kenyataan yang sama: tidak lebih baik dalam menghadapi krisis air (dan lingkungan). Mesir dan Pakistan (juga Malaysia dan Indonesia) yang Islam, Thailand yang Budha, India yang Hindu, bahkan Jepang yang Sinto-Budha dengan apresiasinya yang mengagumkan terhadap alam, menderita krisis lingkungan dalam tingkat keparahan yang hampir sama. Apakah kira-kira penyebabnya?

 

            Penyebab eksternal utama adalah dominasi global Barat, baik secara ekonomi maupun politik. Bermula dari kolonialisme yang mendominasinya, dunia Islam berada dalam posisi menerima ekonomi (termasuk industri), hukum dan teknologi dari Barat, tidak ada ruang untuk melakukan inovasi, tidak ada pilihan lain. Padahal dibalik apa yang diterima itu terkandung pandangan tentang pola hubungan antara manusia dan alam yang menempatkan manusia di atas alam, sehingga menganggapnya sebagai objek yang harus ditaklukkan. Sebagai konsekuensinya, dunia Islam tidak lagi sepenuhnya Islam karena telah kehilangan kearifan Islaminya. Secara internal dunia Islam yang di masa klasik mampu mem-blow up satu ayat tentang wudlu (Q.S. al-Maidah [5]:6) menjadi pembahasan yang serius dan mendominasi buku-buku standar mengenai agama, di masa kontemporernya tidak mampu mem-blow up ayat-ayat lain yang berkaitan dengan lingkungan, kosmologi dan alam (termasuk air)—yang ternyata jauh lebih banyak jumlahnya—sebagai kearifan Islami tentang lingkungan dan alam, dan secara lebih khusus kearifan Islami tentang air.

 

            Penyebab internal lainnya adalah konsekuensi lain—lebih bersifat sosio-antropologis—dari dominasi ekonomi Barat terhadap dunia Islam, yaitu urbanisasi dengan dislokasi budayanya yang makin menyulitkan aplikasi nilai-nilai Islam dan makin menyuburkan aplikasi nilai-nilai Barat, seperti kecintaan dan keserakahan terhadap materi, dan penundukan manusia atas alam. Satu hal yang tidak boleh diabaikan, sebagai penyebab internal lain krisis lingkungan di dunia Islam, adalah pertumbuhan penduduk yang berimplikasi pada peningkatan kebutuhan lahan dan pekerjaan. Ekses dari peningkatan kebutuhan lahan adalah berubahnya lahan terbuka menjadi bangunan gedung, sementara ekses dari peningkatan kebutuhan pekerjaan adalah penggundulan hutan. Kedua ekses itu, bagaimanapun, akan sangat berpengaruh pada ketersediaan cadangan air.

 

            Dari penelusuran berbagai faktor penyebab ketidakberdayaan dunia Islam (juga negara-negara berkembang lainnya) menghadapi krisis lingkungan (termasuk krisis air), dapatlah dibuat agenda program pemberdayaan berikut ini.

 

 

Program Pemberdayaan

 

            Agenda program pemberdayaan yang dapat diberi nama ‘gerakan hemat air’ nampaknya tidak dapat lagi didekati secara parsial (bagian per bagian), seperti melalui ajakan kepada individu-individu masyarakat untuk berhemat air, tetapi perlu didekati secara lebih holistik (menyeluruh terpadu) dengan berbagai faktor yang terkait.

 

            Agenda pertama, memformulasikan kearifan Islami tentang alam (termasuk air), terkait dengan fungsi manusia sebagai khalifah dan hamba Allah, dalam bahasa kontemporer sebagai bagian dari tradisi intelektual Islam. Adakah manfaat dari ajakan atau persuasi berhemat air bila tidak disertai perubahan paradigma tentang pola hubungan antara manusia dan alam, sebagai produk dari pemahaman terhadap kearifan Islami tentang alam?

 

            Agenda kedua, sosialisasi kearifan Islami tentang alam, baik melalui ajakan atau persuasi kepada masyarakat, khususnya umat Islam, dan kalangan industri, pengguna banyak air (untuk diaplikasikan) maupun melalui dialog dengan pemeluk agama lain (untuk saling memahami dan pengayaan) dan dialog dengan pengambil kebijakan publik (untuk diterapkan dalam undang-undang atau peraturan-peraturan).

 

            Bila agenda pertama dan kedua lebih bersifat kultural, maka agenda ketiga lebih bersifat struktural, melibatkan elite politik, baik pengambil kebijakan maupun pelaksananya. Gerakan hemat air, dengan demikian, tidak saja menjadi tanggung jawab individu-individu dan asosiasi-asosiasi dalam masyarakat, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Gerakan hemat air memerlukan dukungan undang-undang atau peraturan yang mengatur, misalnya tata guna lahan, dan tata guna air. Masihkah di masa datang kita melihat kawasan industri dibangun di lahan pertanian produktif  yang nota-bene berfungsi menyerap air? Masihkah di masa datang pengembangan properti, termasuk rumah tinggal, dilakukan secara horisontal yang umumnya mengurangi lahan penyerap air? Apakah masih belum waktunya pengembangan properti secara vertikal, termasuk rumah susun, dengan menyiapkan perubahan dan adaptasi kultural yang bakal terjadi? Masihkah dibiarkan bebas segala bentuk industri memanfaatkan air tanah—yang supply-nya bisa jadi lebih besar dari demand-nya, sehingga terjadi kemubadziran—tanpa kompensasi yang berguna bagi gerakan hemat air? Apakah perencanaan kota di masa datang akan terus mengabaikan pembangunan taman-taman dan danau-danau buatan, dan menggusur lapangan-lapangan terbuka menjadi mal-mal dan perkantoran?

 

            Agenda keempat tidak kalah pentingnya, walau bersifat penunjang dan tidak langsung, yaitu penciptaan lapangan kerja dan jaring sosial-budaya, sebagai antisipasi terhadap urbanisasi dan dislokasi budaya yang ditimbulkannya.

 

Siapkah kita melaksanakan agenda-agenda tersebut? Sepanjang hati-nurani yang memandu, dan bukan hawa nafsu keserakahan, insya Allah di bawah bimbingan-Nya kita dapat melaksanakan agenda-agenda yang tidak ringan itu.

 

            Wal-Lahu a`lam bi al-shawab.

 

M.A. Fattah Santoso
Dosen Fakultas Agama Islam UMS

 

 

One response to “TUNTUNAN ISLAM TENTANG HEMAT AIR

  1. Assalam. Semangat terus ya buat anak2 Ibaad, terus jaga ibaad. tetap kompak, gebyar, TM, dan belantara aja ya di dalam ibaad, ibaaders is the best that i feel. Di ibaad terdapat ukhuwah yang terasa hangat dan kuat. Tetap berjaya n LANJUTKAN!!!!!

Leave a comment